Gua ngepost ttg Nasruddin Hoja , mungkin karna pensaran setelah guru Ipa gua ngebahas ttg dia dan itu kocak n bijak eneudh :v nih di baca! Siapa tau elu bisa share ke temen2 lu atau gebetan kali? biar makin deket *plak . (yg dikasih ke tengah(?) atau dikasih tebel itu judulnya ye)
PEMBUKAAN (?)
Nasrudin adalah seorang sufi yang hidup
di kawasan sekitar Turki pada abad-abad kekhalifahan Islam hingga penaklukan
Bangsa Mongol. Sewaktu masih sangat muda, Nasrudin selalu membuat ulah yang
menarik bagi teman-temannya, sehingga mereka sering lalai akan pelajaran
sekolah. Maka gurunya yang bijak bernubuwat: "Kelak, ketika engkau sudah dewasa,
engkau akan menjadi orang yang bijak. Tetapi, sebijak apa pun kata-katamu,
orang-orang akan menertawaimu."
Nasrudin Ditangkap Waktu Perang
Ketika
perang Salib, Nasrudin tertangkap dan dikenai kerja paksa di sebuah
parit dekat benteng Aleppo. Kerja paksa itu, begitu melelahkan sehingga
sang Mullah sering kali berkeluh kesah. Suatu hari, seorang pedagang
yang mengenalnya lewat di jalan tempatnya bekerja, dan kemudian menebus
sang Mullah dengan tiga puluh uang keping perak. Nasrudin dibawa pulang
oleh sang pedagang, dan diperlakukan dengan baik sekali. Sang pedagang,
juga memberikan anak perempuannya kepada sang Mullah untuk diperistri.
Sekarang,
hidup Nasrudin sudah lebih baik. Tapi tampaknya anak perempuan sang
pedagang muiai suka marah-marah. “Engkau adalah laki-laki,” kata wanita
itu suatu hari, “yang dibeli ayahku dengan harga tiga puluh keping
perak. Ayahku kemudian memberikan engkau kepadaku.”
“Ya,”
kata Nasrudin, “Ayahmu membayar tebusan sebanyak tiga puluh keping
perak, lalu engkau tidak memperoleh apa-apa dari aku, dan aku sendiri
sebenarnya juga sudah kehilangan otot-otot yang sudah kudapat sewaktu
aku menggali parit-parit.”
Memberi Nasihat Gratis
Suatu
hari Nasrudin pergi ke rumah hartawan untuk mencari dana. “Bilang sama
tuanmu,” kata Nasrudin kepada penjaga pintu gerbang, “Mullah Nasrudin
datang, mau minta uang.”
Sang penjaga masuk, dan kemudian ke luar lagi. “Aku khawatir, jangan-jangan, tuanku sedang pergi,” katanya.
“Ke
sini. Ini ada pesan untuk tuanmu,” kata Nasrudin. “Meskipun ia belum
memberi sumbangan, tapi tidak apa-apa, ini nasihat gratis buat tuanmu.
Lain kali, kalau tuanmu pergi, jangan sampai ia meninggalkan wajahnya
dijendela. Bisa-bisa dicuri orang nantinya.”
Nasrudin Pergi Bercukur
Nasrudin
dianggap sebagai guru sufi bahkan ia dipanggil sebagai Mullah, hal ini
menujukkan dia memang berilmu. Pada suatu hari -Nasrudin pergi ke tukang
cukur. Sialnya si tukang cukur bekerja amat lamban karena pisaunya
tumpul. Setiap kali pipi Nasrudin tergores hingga berdarah.
Tukang
cukur cepat cepat mengambil sejumput kapas dan meletakkannya pada luka
itu. Hal ini berlangsunq terus hingga beberapa kali. Sampai wajah
Nascudin penuh dengan jumputan-jumputan kapas. Ketika si tukang cukur
hendak melanjutkan dengan pipi Nasrudin yang satunya, tiba-tiba saja
Nasrudin melompat dan memandangi wajahnya di kaca.
“Cukup, terima kasih, Saudara! Aku telah memutuskan untuk menanam kapas di pipi kiri dan gandum di pipi yang lain!”
Belajar Kebijaksanaan
Seorang
darwis ingin belajar tentang kebijaksanaan hidup dari Nasrudin.
Nasrudin bersedia, dengan catatan bahwa kebijaksanaan hanya bisa
dipelajari dengan praktek. Darwis itu pun bersedia menemani Nasrudin dan
melihat perilakunya.
Malam itu Nasrudin menggosok kayu membuat api. Api kecil itu ditiup-tiupnya. "Mengapa api itu kau tiup?" tanya sang darwis.
"Agar lebih panas dan lebih besar apinya," jawab Nasrudin.
Setelah api besar, Nasrudin memasak sop. Sop menjadi panas. Nasrudin
menuangkannya ke dalam dua mangkok. Ia mengambil mangkoknya, kemudian
meniup-niup sopnya.
"Mengapa sop itu kau tiup?" tanya sang darwis.
"Agar lebih dingin dan enak dimakan," jawab Nasrudin.
"Ah, aku rasa aku tidak jadi belajar darimu," ketus si darwis, "Engkau tidak bisa konsisten dengan pengetahuanmu."
Ah, konsistensi.
Kebijaksanaan dari Toko Sepatu
Nasrudin
diundang menghadiri sebuah pesta perkawinan. Sebelumnya, di rumah orang
yang mengundang itu, ia pernah kehilangan sendal. Karenanya sekarang ia
tidak lagi meninggalkan sepatunya di dekat pintu masuk, tapi
menyimpannya di balik jubahnya.
"Buku apa itu di dalam sakumu?" tanya tuan rumah kepada Nasrudin.
"Ha, mungkin dia sedaang mencari-cari sepatuku," pikir Nasrudin, "untung aku dikenal sebagai kutu buku."
Maka dengan sekeras-kerasnya ia berkata: "Tonjolan yang engkau lihat ini adalah Kebijaksanaan."
"Menarik sekali! Dari toko buku mana engkau dapatkan itu?"
"Yang jelas aku mendapatkannya dari toko sepatu!"
Perlakuan Sama Hasil Berbeda
"Segala sesuatu yang ada harus dibagi sama rata," ujar seorang filsuf di hadapan sekelompok orang di warung kopi.
"Aku tak yakin, itu akan terjadi," ujar seseorang yang selalu ragu.
"Tapi, pernahkah engkau melakukan hal itu?" menimpali sang filsuf.
"Aku pernah!" teriak Nasrudin.
"Aku beri istriku dan keledaiku perlakuan yang sama. Mereka memperoleh apa yang betul-betul mereka inginkan."
"Bagus sekali!" kata sang filsuf.
"Sekarang katakan bagaimana hasilnya."
"Hasilnya adalah seekor keledai yang baik, dan istri yang buruk." (www.pondokbaca.com
Hidangan Untuk Baju
Nasrudin
menghadiri sebuah pesta. Tetapi karena hanya memakai pakaian yang tua
dan jelek, tidak ada seorang pun yang menyambutnya. Dengan kecewa
Nasrudin pulang kembali.
Namun tak lama, Nasrudin kembali dengan memakai pakaian yang baru dan
indah. Kali ini Tuang Rumah menyambutnya dengan ramah. Ia diberi tempat
duduk dan memperoleh hidangan seperti tamu-tamu lainnya.
Tetapi Nasrudin segera melepaskan baju itu di atas hidangan dan berseru, "Hei baju baru, makanlah! Makanlah sepuas-puasmu!"
Untuk mana ia memberikan alasan "Ketika aku datang dengan baju yang
tadi, tidak ada seorang pun yang memberi aku makan. Tapi waktu aku
kembali dengan baju yang ini, aku mendapatkan tempat yang bagus dan
makanan yang enak. Tentu saja ini hak bajuku. Bukan untukku."
"Pada suatu waktu aku pernah sekarat," kata Nasruddin, "Kemudian ada ikan yang datang menyelamatkan hidupku."
"Bagaimana caranya? Tolong katakan padaku?" tanya pendengar penasaran.
"Aku sedang sekarat karena kelaparan. Ada sungai di dekatku. Aku
menangkap ikan itu dan memakannya. Ikan itu menyelamatkan hidupku."
Setelah pengacara selesai, Nasrudin kembali berkomentar:
“Aku rasa engkau benar.”
Petugas mengingatkan Nasrudin bahwa tidak mungkin jaksa betul dan
sekaligus pengacara juga betul. Harus ada salah satu yang salah !
Nasrudin menatapnya lesu, dan kemudian berkomentar:
“Aku rasa engkau benar.
Suatu hari Nasrudin kecil ditinggal ibunya untuk pergi ke rumah Ibu RT.
Sebelum pergi ibunya berkata kepada Nasrudin, “Nasrudin, kalau kamu
sedang sendirian di rumah, kamu harus selalu mengawasi pintu rumah
dengan penuh kewaspadaan. Jangan biarkan seorang pun yang tidak kamu
kenal masuk ke dalam rumah karena bisa saja mereka itu ternyata
pencuri!”
Nasrudin memutuskan untuk duduk di samping pintu. Satu jam kemudian pamannya datang. “Mana ibumu?” tanya pamannya.
“Oh, Ibu sedang pergi ke pasar,” jawab Nasrudin.
“Keluargaku akan datang ke sini sore ini. Pergi dan katakan kepada Ibumu jangan pergi ke mana-mana sore ini!” kata pamannya.
Begitu pamannya pergi Nasrudin mulai berpikir, “Ibu menyuruh aku untuk
mengawasi pintu. Sedangkan Paman menyuruhku pergi untuk mencari Ibu dan
bilang kepada Ibu kalau keluarga Paman akan datang sore ini.”
Setelah bingung memikirkan jalan keluarnya, Nasrudin akhirnya membuat
satu keputusan. Dia melepaskan pintu dari engselnya, menggotongnya
sambil pergi mencari ibunya.
Begitu
pamannya pergi Nasrudin mulai berpikir, “Ibu menyuruh aku untuk
mengawasi pintu. Sedangkan Paman menyuruhku pergi untuk mencari Ibu dan
bilang kepada Ibu kalau keluargA Paman akan datang sore ini.”
Setelah bingung memikirkan jalan keluarnya, Nasrudin akhirnya membuat
satu keputusan. Dia melepaskan pintu dari engselnya, menggotongnya
sambil pergi mencari ibunya.
Pengumuman Setelah Shalat Idul Fitri
Berikut adalah kisah seorang Imam yang setelah Shalat Idul Fitri memberikan pengumuman kepada masyarakat:
"Aku punya berita baik dan berita buruk. Kabar baiknya adalah, kita
punya cukup dana untuk membayar program pembangunan baru. Kabar buruknya
adalah, dana itu masih berada di luar sana, yaitu di saku Anda."
Tidak Konsisten dengan Pengetahuan
Seorang Darwis ingin belajar tentang kebijaksanaan hidup dari Nasrudin.
Nasrudin bersedia, dengan catatan bahwa kebijaksanaan hanya bisa
dipelajari dengan praktek. Darwis itu pun bersedia menemani Nasrudin dan
melihat perilakunya.
Malam itu Nasrudin menggosok kayu membuat api. Api kecil itu ditiup-tiupnya.
"Mengapa api itu kau tiup?" tanya sang Darwis.
"Agar lebih panas dan lebih besar apinya," jawab Nasrudin.
Setelah api besar, Nasrudin memasak sop. Sop menjadi panas. Nasrudin
menuangkannya ke dalam dua mangkok. Ia mengambil mangkoknya, kemudian
meniup-niup sopnya.
"Mengapa sop itu kau tiup?" tanya sang Darwis.
"Agar lebih dingin dan enak dimakan," jawab Nasrudin.
"Ah, aku rasa aku tidak jadi belajar darimu," ketus si Darwis,
"Engkau tidak bisa konsisten dengan pengetahuanmu."
Ah, konsistensi.
Sembunyi : Suatu malam seorang pencuri memasuki rumah Nasrudin.
Kabetulan Nasrudin sedang melihatnya. Karena ia sedang sendirian aja,
Nasrudin cepat-cepat bersembunyi di dalam peti. Sementara itu pencuri
memulai aksi menggerayangi rumah. Sekian lama kemudian, pencuri belum
menemukan sesuatu yang berharga. Akhirnya ia membuka peti besar, dan
memergoki Nasrudin yang bersembunyi. "Aha!" kata si pencuri, "Apa yang
sedang kau lakukan di sini, ha?" "Aku malu, karena aku tidak memiliki
apa-apa yang bisa kau ambil. Itulah sebabnya aku bersembunyi di sini."
Tampak Seperti Wujudmu : Nasrudin sedang merenungi harmoni alam, dan
kebesaran Penciptanya. "Oh kasih yang agung. Seluruh diriku terselimuti
oleh-Mu. Segala yang tampak oleh mataku. Tampak seperti wujud-Mu."
Seorang tukang melucu menggodanya, "Bagaimana jika ada orang jelek dan
dungu lewat di depan matamu ?" Nasrudin berbalik, menatapnya, dan
menjawab dengan konsisten: "Tampak seperti wujudmu."
Sesekali, Timur Lenk ingin juga mempermalukan Nasrudin. Karena Nasrudin
cerdas dan cerdik, ia tidak mau mengambil resiko beradu pikiran. Maka
diundangnya Nasrudin ke tengah-tengah prajuritnya. Dunia prajurit, dunia
otot dan ketangkasan.
“Ayo Nasrudin,” kata Timur Lenk, “Di hadapan para prajuritku,
tunjukkanlah kemampuanmu memanah. Panahlah sekali saja. Kalau panahmu
dapat mengenai sasaran, hadiah besar menantimu. Tapi kalau gagal, engkau
harus merangkak jalan pulang ke rumahmu.”
Nasrudin terpaksa mengambil busur dan tempat anak panah. Dengan
memantapkan hati, ia membidik sasaran, dan mulai memanah. Panah melesat
jauh dari sasaran. Segera setelah itu, Nasrudin berteriak, “Demikianlah
gaya tuan wazir memanah.”
Segera dicabutnya sebuah anak panah lagi. Ia membidik dan memanah lagi.
Masih juga panah meleset dari sasaran. Nasrudin berteriak lagi,
“Demikianlah gaya tuan walikota memanah.”
Nasrudin segera mencabut sebuah anak panah lagi. Ia membidik dan memanah
lagi. Kebetulan kali ini panahnya menyentuh sasaran. Nasrudin pun
berteriak lagi, “Dan yang ini adalah gaya Nasrudin memanah. Untuk itu
kita tunggu hadiah dari Paduka Raja.”
Sambil menahan tawa, Timur Lenk menyerahkan hadiah Nasrudin.
Timur Lenk menghadiahi Nasrudin seekor keledai. Nasrudin menerimanya
dengan senang hati. Tetapi Timur Lenk berkata, Ajari keledai itu
membaca. Dalam dua minggu, datanglah kembali ke mari, dan kita lihat
hasilnya.”
Nasrudin berlalu, dan dua minggu kemudian ia kembali ke istana. Tanpa
banyak bicara, Timur Lenk menunjuk ke sebuah buku besar. Nasrudin
menggiring keledainya ke buku itu, dan membuka sampulnya.
Si keledai menatap buku itu, dan tak lama mulai membalik halamannya
dengan lidahnya. Terus menerus, dibaliknya setiap halaman sampai ke
halaman akhir. Setelah itu si keledai menatap Nasrudin.
“Demikianlah,” kata Nasrudin, “Keledaiku sudah bisa membaca.”
Timur Lenk mulai menginterogasi, “Bagaimana caramu mengajari dia membaca ?”
Nasrudin berkisah, “Sesampainya di rumah, aku siapkan lembaran-lembaran
besar mirip buku, dan aku sisipkan biji-biji gandum di dalamnya. Keledai
itu harus belajar membalik-balik halam untuk bisa makan biji-biji
gandum itu, sampai ia terlatih betul untuk membalik-balik halaman buku
dengan benar.”
“Tapi,” tukas Timur Lenk tidak puas, “Bukankah ia tidak mengerti apa yang dibacanya ?”
Nasrudin menjawab, “Memang demikianlah cara keledai membaca: hanya
membalik-balik halaman tanpa mengerti isinya. Kalau kita membuka-buka
buku tanpa mengerti isinya, kita disebut setolol keledai, bukan ?”
Nasrudin diundang berburu, tetapi hanya dipinjami kuda yang lamban.
Tidak lama, hujan turun deras. Semua kuda dipacu kembali ke rumah.
Nasrudin melepas bajunya, melipat, dan menyimpannya, lalu membawa
kudanya ke rumah.
Setelah hujan berhenti, dipakainya kembali bajunya. Semua orang takjub
melihat bajunya yang kering, sementara baju mereka semuanya basah,
padahal kuda mereka lebih cepat.
“Itu berkat kuda yang kau pinjamkan padaku,” ujar Nasrudin ringan.
Keesokan harinya, cuaca masih mendung. Nasrudin dipinjami kuda yang
cepat, sementara tuan rumah menunggangi kuda yang lamban. Tak lama
kemudian hujan kembali turun deras. Kuda tuan rumah berjalan lambat,
sehingga tuan rumah lebih basah lagi.
Sementara itu, Nasrudin melakukan hal yang sama dengan hari sebelumnya. Sampai rumah, Nasrudin tetap kering.
“Ini semua salahmu!” teriak tuan rumah, “Kamu membiarkan aku mengendarai kuda brengsek itu!”
“Masalahnya, kamu berorientasi pada kuda, bukan pada baju.”
Nasrudin berbincang-bincang dengan hakim kota. Hakim kota, seperti
umumnya cendekiawan masa itu, sering berpikir hanya dari satu sisi saja.
Hakim memulai,
“Seandainya saja, setiap orang mau mematuhi hukum dan etika, …”
Nasrudin menukas, “Bukan manusia yang harus mematuhi hukum, tetapi justru hukum lah yang harus disesuaikan dengan kemanusiaan.”
Hakim mencoba bertaktik, “Tapi coba kita lihat cendekiawan seperti Anda.
Kalau Anda memiliki pilihan: kekayaan atau kebijaksanaan, mana yang
akan dipilih?”
Nasrudin menjawab seketika, “Tentu, saya memilih kekayaan.”
Hakim membalas sinis, “Memalukan. Anda adalah cendekiawan yang diakui
masyarakat. Dan Anda memilih kekayaan daripada kebijaksanaan?”
Nasrudin balik bertanya, “Kalau pilihan Anda sendiri?”
Hakim menjawab tegas, “Tentu, saya memilih kebijaksanaan.”
Dan Nasrudin menutup, “Terbukti, semua orang memilih untuk memperoleh
apa yang belum dimilikinya.”
Yang Benar-benar Benar
Nasrudin sedang menjadi hakim di pengadilan kota. Mula-mula ia
mendengarkan dakwaan yang berapi-api dengan fakta yang tak tersangkalkan
dari jaksa. Setelah jaksa selesai dengan dakwaannya, Nasrudin
berkomentar:
“Aku rasa engkau benar.”
Petugas majelis membujuk Nasrudin, mengingatkan bahwa terdakwa belum
membela diri. Terdakwa diwakili oleh pengacara yang pandai mengolah
logika, sehingga Nasrudin kembali terpikat. Setelah pengacara selesai,
Nasrudin kembali berkomentar:
“Aku rasa engkau benar.”
Petugas mengingatkan Nasrudin bahwa tidak mungkin jaksa betul dan
sekaligus pengacara juga betul. Harus ada salah satu yang salah !
Nasrudin menatapnya lesu, dan kemudian berkomentar:
“Aku rasa engkau benar.
Membantu Orang Membayar Hutang
“Saudaraku,”
kata Nasrudin kepada seorang tetangga, “aku sedang mengumpulkan uang
untuk membayar utang seorang laki-laki yang amat miskin, yang tidak
mampu memenuhi tanggung jawabnya.”
“Sikap yang amat terpuji,” komentar tetangga itu, dan kemudian memberinya sekeping uang.
“Siapakah orang itu?”
“Aku,” kata Nasrudin sambil bergegas pergi. Beberapa minggu kemudian
Nasrudin muncul lagi di depan pintu tetangganya itu. “Kupikir, kau mau
membicarakan soal utang,” kata sang tetangga yang sekarang tampak sinis.
“Betul demikian.”
“Ada seseorang yang tidak bisa membayar utangnya dan engkau mengumpulkan sumbangan untuknya?”
“Ya. Memang demikian adanya.”
“Lalu engkau sendiri yang meminjam uang itu?”
“Tidak untuk saat ini.”
“Aku senang mendengarnya. Ini ambillah sumbangan ini.”
“Terima kasih…”
“Satu hal, Nasrudin. Apa yang membuatmu begitu bersikap manusiawi terhardap masalah yang khusus ini?”
“Oh, rupanya kamu tahu… akulah yang memberi pinjaman.”
Tidak Ikhlas Menolong
Tidak
etis jika kita selalu menyebut-nyebut pertolongan yang kita berikan
kepada orang lain. Nasrudin hampir saja terjatuh ke dalam sebuah kolam.
Tapi seseorang yang tidak terlalu dikenalnya berada di dekat tempat itu
dan kemudian menolongnya. Setelah itu, setiap kali orang itu bertemu
dengan Nasrudin, ia selalu mengingatkan kebaikan yang pernah
dilakukannya terhariap sang Mullah.
Suatu
kali, Nasrudin membawa laki-laki itu ke dekat kolam, kemudian sang
Mullah menerjunkan dia ke dalam air. Dengan kepala menyembul di
permukaan air, Nasrudin berteriak: “Kau lihat, sekarang aku sudah
benar-benar basah, seperti yang seharusnya terjadi jika engkau dulu
tidak menolongku! Sudah, pergi sana!”
Umur yang Konsisten
“Berapa umurmu, Nasrudin?”
“Empat puluh.”
“Lho? dulu, kau menyebut angka yang sama ketika aku menanyakan umurmu itu, dua tahun yang lalu?”
“Ya, aku memang selalu berusaha konsisten dengan apa yang pemah kukatakan.”
“Oh, begitukah cara menepati omongan?”
“Masak kau nggak tahu?”
Menghabiskan Halwa Masakan Istri
Suatu
hari Nasrudin meminta istrinya untuk memasak halwa, masakan dari daging
yang diberi bumbu dengan rasa manis. Istrinya memasak makanan itu dalam
jumlah besar, dan Nasrudin hampir saja menyantap habis seluruhnya.
Malamnya,
ketika mereka berdua sudah hampir lelap tertidur, Nasrudin
mengguncang-guncang tubuh istrinya. “Eh, aku ada gagasan bagus.”
“Apa itu?”
“Bawa dulu ke sini sisa halwa yang masih ada. Baru setelah itu aku beri tahu gagasan yang ada di otakku.”
Istri Nasrudin segera bangkit dan mengambil sisa halwa yang langsung dilahap oleh sang Mullah.
“Sekarang,” kata istrinya, “aku tidak akan bisa tidur sebelum engkau ceritakan isi pikiranmu itu.”
“Idenya itu,” kata Nasrudin, “Jangan sekali-kali pergi tidur sebelum
menghabiskan semua halwa yang telah dibuat pada hari itu juga.”
Kekekalan
Massa
Ketika memiliki uang cukup banyak,
Nasrudin membeli ikan di pasar dan membawanya ke rumah. Ketika istrinya melihat
ikan yang banyak itu, ia berpikir, "Oh, sudah lama aku tidak mengundang
teman-temanku makan di sini."
Ketika malam itu Nasrudin pulang kembali, ia
berharap ikannya sudah dimasakkan untuknya. Alangkah kecewanya ia melihat
ikan-ikannya itu sudah habis, tinggal duri-durinya saja.
"Siapa yang menghabiskan ikan sebanyak ini
?"
Istrinya menjawab, "Kucingmu itu, tentu saja.
Mengapa kau pelihara juga kucing yang nakal dan rakus itu!"
Nasrudin pun makan malam dengan seadanya saja.
Setelah makan, dipanggilnya kucingnya, dibawanya ke kedai terdekat, diangkatnya
ke timbangan, dan ditimbangnya. Lalu ia pulang ke rumah, dan berkata cukup
keras,
"Ikanku tadi dua kilo beratnya. Yang barusan aku
timbang ini juga dua kilo. Kalau kucingku dua kilo, mana ikannya ? Dan kalau ini
ikan dua kilo, lalu mana kucingnya ?"
Mimpi Relijius
Nasrudin sedang dalam perjalanan dengan
pastur dan yogi. Pada hari kesekian, bekal mereka tinggal sepotong kecil roti.
Masing-masing merasa berhak memakan roti itu. Setelah debat seru, akhirnya
mereka bersepakat memberikan roti itu kepada yang malam itu memperoleh mimpi
paling relijius. Tidurlah mereka.
Pagi harinya, saat bangun, pastur bercerita: "Aku
bermimpi melihat kristus membuat tanda salib. Itu adalah tanda yang istimewa
sekali."
Yogi menukas, "Itu memang istimewa. Tapi aku
bermimpi melakukan perjalanan ke nirwana, dan menemui tempat paling
damai."
Nasrudin berkata, "Aku bermimpi sedang kelaparan
di tengah gurun, dan tampak bayangan nabi Khidir bersabda 'Kalau engkau lapar,
makanlah roti itu.' Jadi aku langsung bangun dan memakan roti itu saat itu
juga."
Jatuh Ke Kolam
Nasrudin hampir terjatuh ke kolam. Tapi
orang yang tidak terlalu dikenal berada di dekatnya, dan kemudian menolongnya
pada saat yang tepat. Namun setelah itu, setiap kali bertemu Nasrudin orang itu
selalu membicarakan peristiwa itu, dan membuat Nasrudin berterima kasih
berulang-ulang.
Suatu hari, untuk yang kesekian kalinya, orang
itu menyinggung peristiwa itu lagi. Nasrudin mengajaknya ke lokasi, dan kali ini
Nasrudin langsung melompat ke air.
"Kau lihat! Sekarang aku sudah benar-benar basah
seperti yang seharusnya terjadi kalau engkau dulu tidak menolongku. Sudah, pergi
sana!"
Gelar Timur
Lenk
Timur Lenk mulai mempercayai Nasrudin,
dan kadang mengajaknya berbincang soal kekuasaannya.
"Nasrudin," katanya suatu hari, "Setiap khalifah
di sini selalu memiliki gelar dengan nama Allah. Misalnya: Al-Muwaffiq Billah,
Al-Mutawakkil 'Alallah, Al-Mu'tashim Billah, Al-Watsiq Billah, dan lain-lain.
Menurutmu, apakah gelar yang pantas untukku ?"
Cukup sulit, mengingat Timur Lenk adalah penguasa
yang bengis. Tapi tak lama, Nasrudin menemukan jawabannya. "Saya kira, gelar
yang paling pantas untuk Anda adalah Naudzu-Billah* saja."
* "Aku berlindung kepada Allah
(darinya)"
Membedakan
Kelamin
Seorang tetangga Nasrudin telah lama
bepergian ke negeri jauh. Ketika pulang, ia menceritakan
pengalaman-pengalamannya yang aneh di negeri orang.
"Kau tahu," katanya pada Nasrudin, "Ada sebuah
negeri yang aneh. Di sana udaranya panas bukan main sehingga tak seorangpun yang
mau memakai pakaian, baik lelaki maupun perempuan."
Nasrudin senang dengan lelucon itu. Katanya,
"Kalau begitu, bagaimana cara kita membedakan mana orang yang lelaki dan mana
yang perempuan?"
Relativitas
Keju
Setelah bepergian jauh, Nasrudin tiba
kembali di rumah. Istrinya menyambut dengan gembira,
"Aku punya sepotong keju untukmu," kata
istrinya.
"Alhamdulillah," puji Nasrudin, "Aku suka keju.
Keju itu baik untuk kesehatan perut."
Tidak lama Nasrudin kembali pergi. Ketika ia
kembali, istrinya menyambutnya dengan gembira juga.
"Adakah keju untukku ?" tanya
Nasrudin.
"Tidak ada lagi," kata istrinya.
Kata Nasrudin, "Yah, tidak apa-apa. Lagipula keju
itu tidak baik bagi kesehatan gigi."
"Jadi mana yang benar ?" kata istri Nasrudin
bertanya-tanya, "Keju itu baik untuk perut atau tidak baik untuk gigi
?"
"Itu tergantung," sambut Nasrudin, "Tergantung
apakah kejunya ada atau tidak."
Tidak Terlalu Dalam
Telah berulang kali Nasrudin mendatangi seorang hakim untuk mengurus
suatu perjanjian. Hakim di desanya selalu mengatakan tidak punya waktu
untuk menandatangani perjanjian itu. Keadaan ini selalu berulang
sehingga Nasrudin menyimpulkan bahwa si hakim minta disogok. Tapi — kita
tahu — menyogok itu diharamkan. Maka Nasrudin memutuskan untuk
melemparkan keputusan ke si hakim sendiri.
Nasrudin menyiapkan sebuah gentong. Gentong itu diisinya dengan tahi
sapi hingga hampir penuh. Kemudian di atasnya, Nasrudin mengoleskan
mentega beberapa sentimeter tebalnya. Gentong itu dibawanya ke hadapan
Pak Hakim. Saat itu juga Pak Hakim langsung tidak sibuk, dan punya waktu
untuk membubuhi tanda tangan pada perjanjian Nasrudin.
Nasrudin kemudian bertanya, “Tuan, apakah pantas Tuan Hakim mengambil gentong mentega itu sebagai ganti tanda tangan Tuan ?”
Hakim tersenyum lebar. “Ah, kau jangan terlalu dalam memikirkannya.”
Ia mencuil sedikit mentega dan mencicipinya. “Wah, enak benar mentega
ini!”
“Yah,” jawab Nasrudin, “Sesuai ucapan Tuan sendiri, jangan terlalu dalam.” Dan berlalulah Nasrudin
Jubah Jatuh
Nasrudin pulang malam bersama teman-temannya. Di pintu rumah mereka
berpisah. Di dalam rumah, istri Nasrudin sudah menanti dengan marah.
“Aku telah bersusah payah memasak untukmu sore tadi !” katanya sambil
menjewer Nasrudin. Karena kuatnya, Nasrudin terpelanting dan jatuh
menabrak peti.
Mendengar suara gaduh, teman-teman Nasrudin yang belum terlalu jauh kembali, dan bertanya dari balik pintu,
“Ada apa Nasrudin, malam-malam begini ribut sekali?”
“Jubahku jatuh dan menabrak peti,” jawab Nasrudin.
“Jubah jatuh saja ribut sekali ?”
“Tentu saja,” sesal Nasrudin, “Karena aku masih berada di dalamnya.”
Membalik Logika
Seorang yang filosof dogmatis sedang meyampaikan ceramah. Nasrudin
mengamati bahwa jalan pikiran sang filosof terkotak-kotak, dan sering
menggunakan aspek intelektual yang tidak realistis. Setiap masalah
didiskusikan dengan menyitir buku-buku dan kisah-kisah klasik,
dianalogikan dengan cara yang tidak semestinya.
Akhirnya, sang penceramah mengacungkan buku hasil karyanya sendiri.
nasrudin segera mengacungkan tangan untuk menerimanya pertama kali.
Sambil memegangnya dengan serius, Nasrudin membuka halaman demi halaman,
berdiam diri. Lama sekali. Sang penceramah mulai kesal.
“Engkau bahkan membaca bukuku terbalik!”
“Aku tahu,” jawab Nasrudin acuh, “Tapi karena cuma ini satu-satunya
hasil karyamu, rasanya, ya, memang begini caranya mempelajari jalan
pikiranmu.”
end...
Manipulasi Deskripsi
Nasrudin kehilangan sorban barunya yang bagus dan mahal. Tidak lama
kemudian, Nasrudin tampak menyusun maklumat yang menawarkan setengah
keping uang perak bagi yang menemukan dan mengembalikan sorbannya.
Seseorang protes, “Tapi penemunya tentu tidak akan mengembalikan sorbanmu. Hadiahnya tidak sebanding dengan harga sorban itu.”
“Nah,” kata Nasrudin, “Kalau begitu aku tambahkan bahwa sorban itu sudah tua, kotor, dan sobek-sobek.”
end...
Bahasa Kurdi
Tetangga Nasrudin ingin belajar bahasa Kurdi. Maka ia minta diajari
Nasrudin. Sebetulnya Nasrudin juga belum bisa bahasa Kurdi selain
beberapa patah kata. Tapi karena tetangganya memaksa, ia pun akhirnya
bersedia.
“Kita mulai dengan sop panas. Dalam bahasa Kurdi, itu namanya Aash.”
“Bagaimana dengan sop dingin ?”
“Hemm. Perlu diketahui bahwa orang Kurdi tidak pernah membiarkan sop
jadi dingin. Jadi engkau tidak akan pernah mengatakan sop dingin dalam
bahasa Kurdi.”
Di Akhirat
Timur Lenk meneruskan perbincangan dengan Nasrudin soal kekuasaannya.
"Nasrudin!
Menurutmu, di manakah tempatku di akhirat, menurut kepercayaanmu ?
Apakah aku ditempatkan bersama orang-orang yang mulia atau yang hina ?"
Bukan Nasrudin kalau ia tak dapat menjawab pertanyaan 'semudah' ini.
"Raja
penakluk seperti Anda," jawab Nasrudin, "Insya Allah akan ditempatkan
bersama raja-raja dan tokoh-tokoh yang telah menghiasi sejarah."
Timur Lenk benar-benar puas dan gembira. "Betulkah itu, Nasrudin ?"
"Tentu,"
kata Nasrudin dengan mantap. "Saya yakin Anda akan ditempatkan bersama
Fir'aun dari Mesir, raja Namrudz dari Babilon, kaisar Nero dari Romawi,
dan juga Jenghis Khan."
Entah mengapa, Timur Lenk masih juga gembira mendengar jawaban itu.
Teori Kebutuhan
Nasrudin berbincang-bincang dengan hakim kota. Hakim kota, seperti
umumnya cendekiawan masa itu, sering berpikir hanya dari satu sisi saja.
Hakim memulai,
"Seandainya saja, setiap orang mau mematuhi hukum dan etika, ..."
Nasrudin menukas, "Bukan manusia yang harus mematuhi hukum, tetapi justru hukum lah yang harus disesuaikan dengan kemanusiaan."
Hakim
mencoba bertaktik, "Tapi coba kita lihat cendekiawan seperti Anda.
Kalau Anda memiliki pilihan: kekayaan atau kebijaksanaan, mana yang akan
dipilih?"
Nasrudin menjawab seketika, "Tentu, saya memilih kekayaan."
Hakim
membalas sinis, "Memalukan. Anda adalah cendekiawan yang diakui
masyarakat. Dan Anda memilih kekayaan daripada kebijaksanaan?"
Nasrudin balik bertanya, "Kalau pilihan Anda sendiri?"
Hakim menjawab tegas, "Tentu, saya memilih kebijaksanaan."
Dan Nasrudin menutup, "Terbukti, semua orang memilih untuk memperoleh apa yang belum dimilikinya."
Api!
Hari Jum`at itu, Nasrudin menjadi imam Shalat Jum`at. Namun belum lama
ia berkhutbah, dilihatnya para jamaah terkantuk-kantuk, dan bahkan
sebagian tertidur dengan lelap. Maka berteriaklah Sang Mullah,
"Api ! Api ! Api !"
Segera saja, seisi masjid terbangun, membelalak dengan pandangan kaget, menoleh kiri-kanan. Sebagian ada yang langsung bertanya,
"Dimana apinya, Mullah ?"
Nasrudin meneruskan khutbahnya, seolah tak acuh pada yang bertanya,
"Api yang dahsyat di neraka, bagi mereka yang lalai dalam beribadah."
Yang Benar Benar-benar
Nasrudin sedang menjadi hakim di pengadilan kota. Mula-mula ia
mendengarkan dakwaan yang berapi-api dengan fakta yang tak tersangkalkan
dari jaksa. Setelah jaksa selesai dengan dakwaannya, Nasrudin
berkomentar:
"Aku rasa engkau benar."
Petugas majelis
membujuk Nasrudin, mengingatkan bahwa terdakwa belum membela diri.
Terdakwa diwakili oleh pengacara yang pandai mengolah logika, sehingga
Nasrudin kembali terpikat. Setelah pengacara selesai, Nasrudin kembali
berkomentar:
"Aku rasa engkau benar."
Petugas mengingatkan
Nasrudin bahwa tidak mungkin jaksa betul dan sekaligus pengacara juga
betul. Harus ada salah satu yang salah ! Nasrudin menatapnya lesu, dan
kemudian berkomentar:
"Aku rasa engkau benar."
==== BERSAMBUNG ===
gua capek ye, bhay !